Pasar Terapung
Mengunjungi kota Banjarmasin akan terasa kurang bila tak menyinggahi pasar terapung Kuin yang terletak di pertemuan Sungai Kuin dan Sungai Barito. Pasar yang menggeliat hanya pada pagi hari dari kira-kira pukul 5.30 hingga 7.30 ini sungguh-sungguh menyuguhkan keindahan yang sulit ditemukan di tempat lain sekaligus artefak hidup model barter yang masih dapat disaksikan di jaman ini. Barter terjadi hanya antar para petani yang saling membutuhkan hasil bumi yang mereka bawa, selebihnya adalah selayaknya para pedagang dan pembeli yang bertemu di sebuah pasar untuk melakukan transaksi.
Kesempatan menyaksikan pasar terapung Kuin akhirnya baru dapat kulakukan pagi hari itu, setelah aku datang ke kota Banjarmasin ini lebih dari 6 kali sejak tahun 2008 hingga 2012 ini.Secara kebetulan, hotel Swiss-belhotel Borneo tempatku menginap malam itu, menawarkan paket jalan-jalan menggunakan perahu motor ke pasar terapung selama kurang lebih 3 jam dengan biaya yang relatif murah yaitu Rp.50.000,00 per orang. Aku langsung mendaftar. Tetapi hingga hampir jam 9 malam tidak ada tamu lain yang mendaftarkan diri. Karena jumlah peserta minimal adalah dua tamu, maka aku setuju untuk membayar 2 kali lipatnya. Dalam hati, aku sebenarnya malah bersyukur bisa bebas menentukan arah dan waktu di sana.
Pagi jam 4.30, aku sudah bangun dan bersiap menuju ke dermaga kecil yang ada di depan hotel. Diantar oleh petugas keamanan hotel, aku dipertemukan dengan pengemudi perahu yang ternyata sejak semalam tidur di dalam perahu kayu ini. Perahu nampak bersih. Dengan atap kayu ulin yang ditutupi seng, perahu ini sebenarnya dapat menampung sekitar 20 orang. Di bagian buritan ada 2 kursi kayu yang dapat diduduki masing-masing 3 orang bila ingin menikmati hembusan angin selama perjalanan atau menyaksikan geliat pasar ini dari sisi yang lebih "fotogenik".
Perahu berangkat persis jam 5 pagi, menyusuri sungai Martapura, kemudian memotong melalui anak sungai yang kanan-kirinya sudah sangat padat rumah-rumah panggung, sebelum akhirnya sampai di sungai Barito yang lebarnya mungkin lebih dari 400 meter. Dari atas perahu, nampak penduduk sudah mulai melakukan aktivitas, mencuci, mandi, sholat, memasak, dan beberapa orang nampak bersiap-siap di atas perahu juga.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 40 menit, perahu yang kutumpangi sampai ke tempat yang disebut pasar terapung Kuin. Letaknya di muara sungai Kuin, persis di belakang bangunan-bangunan kayu yang adalah tempat-tempat penggergajian dan pengolahan kayu log. Ada ratusan batang log berdiameter diatas 60 cm panjang sekitar 8 meter mengapung di pinggiran sungai Kuin. Dari tempat ini aku dapat menyaksikan kapal-kapal besar dan tongkang yang sedang melewati sungai Barito.
Pasar belum mulai ramai, tetapi jukung, sebutan untuk perahu kayu tak bermesin, sudah mulai berseliweran. "Hari ini tidak akan ramai karena sedang musim tanam padi," kata Ahmad (28), pengemudi perahu. Ia buru-buru menambahkan, "Makin lama pasar ini memang kian sepi, entah karena apa?". Benar saja, sampai menjelang aku kembali ke hotel pada jam 7.20, mungkin tak lebih dari 30 jukung yang datang dan pergi ke pasar terapung ini. Meskipun begitu, aku sudah menikmati sebuah tontonan yang apik dan cukup menyentuh hati di pagi hari ini.
sumber : http://jiwasehat.blogspot.com/
0 komentar :
Posting Komentar